
Menteri Keuangan RI Sri Mulyani
Ekonomi – Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan dampak dari rencana penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen. Kenaikan ini diatur dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan dijadwalkan berlaku mulai 2025.
Ekonom menyebut kenaikan ini bisa memengaruhi daya beli masyarakat, menambah inflasi, dan menurunkan konsumsi hingga Rp40 triliun. Namun, pemerintah menyatakan kebijakan tersebut penting untuk meningkatkan penerimaan negara dan menciptakan struktur pajak lebih adil​.
DPR, melalui BAKN, meminta pemerintah mempertimbangkan ulang kebijakan PPN 12 persen yang dijadwalkan berlaku pada 2025. Menurut pengamat, kebijakan ini dapat memengaruhi konsumsi rumah tangga hingga Rp40 triliun, berisiko melemahkan daya beli masyarakat.
Sri Mulyani menegaskan, PPN 12 persen akan diterapkan secara selektif, mencakup barang/jasa non-esensial, sementara kebutuhan pokok tetap bebas PPN. Kebijakan ini bertujuan mengoptimalkan penerimaan negara guna mendanai pembangunan. Pelaku usaha berharap pemerintah memastikan transisi kebijakan berjalan mulus tanpa mengganggu stabilitas ekonomi.
BAKN menyoroti dampak kenaikan PPN 12 persen yang dinilai dapat membebani masyarakat, terutama golongan berpenghasilan rendah. Sri Mulyani menegaskan, kebijakan ini bertujuan meningkatkan penerimaan negara untuk mendukung pembangunan, namun akan diterapkan selektif dengan pengecualian pada barang dan jasa tertentu.
Ekonom memperingatkan kenaikan ini dapat meningkatkan inflasi hingga 0,5% pada 2025. Sementara itu, pelaku usaha meminta pemerintah mengevaluasi dampak pada konsumsi rumah tangga yang berpotensi melemah, terutama di sektor ritel dan pangan.