
Windu Purnomo, Ketua Departemen IPPEs
Opini – Program Koperasi Desa Merah Putih baru-baru ini digulirkan dengan semangat besar untuk memperkuat perekonomian desa. Namun, dari sudut pandang kebijakan publik dan tata kelola ekonomi lokal, kita perlu mengkritisi urgensinya secara lebih jernih.
Jika tujuannya adalah membangun kemandirian ekonomi desa, bukankah seharusnya pemerintah memfokuskan penguatan pada instrumen yang telah ada, yaitu Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)? Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014, BUMDes diciptakan sebagai badan hukum yang mengelola potensi ekonomi desa dengan prinsip partisipatif, akuntabel, dan berkelanjutan.
Data hingga akhir 2024 menunjukkan, terdapat lebih dari 51.000 BUMDes di Indonesia. Namun, sayangnya, hanya sekitar 15–20% yang berjalan aktif dan produktif. Permasalahan utama bukan terletak pada kekurangan lembaga baru, melainkan pada lemahnya pendampingan, manajemen yang kurang profesional, dan belum optimalnya integrasi BUMDes ke dalam ekosistem ekonomi nasional.
Windu Purnomo, Ketua Departemen Indonesia Public Policy and Economics Studies (IPPEs), menyatakan, “​Pemerintah seharusnya fokus pada pengembangan BUMDes yang sudah ada, dengan memperkuat kapasitas SDM dan manajemen yang profesional. Membentuk koperasi baru tanpa persiapan yang matang hanya akan menambah beban desa dan berisiko mengulang kegagalan sejarah koperasi di Indonesia.”
Dalam kondisi seperti ini, membentuk koperasi baru berpotensi memunculkan tumpang tindih fungsi antara BUMDes dan koperasi desa. Ini bukan hanya membingungkan masyarakat desa, melainkan juga menciptakan beban administratif baru tanpa memperbaiki akar persoalan.
Lebih jauh, perlu diingat bahwa koperasi di Indonesia pun menghadapi tantangan serius. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, dari 127.000 koperasi, hanya sekitar 50% yang aktif. Ini artinya, tantangan koperasi nasional hari ini adalah kualitas kelembagaan, bukan sekadar kuantitas.
Desa tidak membutuhkan lebih banyak lembaga baru yang belum tentu efektif. Desa membutuhkan penguatan kapasitas kelembagaan, pelatihan manajerial, pendampingan usaha, serta akses pasar dan modal yang nyata.
Maka, kebijakan yang seharusnya diutamakan pemerintah adalah memperbaiki fondasi ekonomi desa melalui :
- Reformasi manajemen BUMDes, dengan prinsip profesionalisme dan transparansi.
- Pemberdayaan SDM desa berbasis kebutuhan sektor unggulan lokal.
- Konsolidasi program desa agar tidak terjadi fragmentasi sumber daya.
Ekonomi desa adalah fondasi penting pembangunan nasional. Kita membutuhkan kebijakan yang berbasis evidence-based policy making, bukan sekadar program-program baru yang lahir dari euforia sesaat.
Sudah saatnya kita belajar dari tantangan yang ada, membenahi struktur yang tersedia, dan membangun dari bawah, bukan dari atas.